Rabu, 12 Oktober 2011

Spirit “La Takhaf”


“Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang)...”

[QS. Thaahaa (20): 68]



Syahdan, adalah Dale Carnegie yang memotivasi DR. Aidh bin Abdullah al-Qarni, seorang penulis masyhur kebangsaan Arab Saudi, untuk menulis buku best seller bertajuk La Tahzan. Di Indonesia, juga beberapa negara lainnya, buku ini begitu populer hingga mengalami cetak ulang setiap tahunya. Ya, setelah membaca buku Carnegie yang berjudul How to Stop Worrying and Start Living itulah, magnum opus-nya lahir ke dunia.

Karena penasaran, saya tergerak mencari buku Dale Carnegie tersebut; sebuah buku self-help, panduan hidup, yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Banyak orang dari pelbagai kalangan yang ter”selamat”-kan hidupnya karena buku tersebut. Alhamdulillah, berkat internet dan fasilitas unduh [download] secara gratis, buku tersebut saya peroleh dengan teks aslinya. Tentunya bukan dalam bentuk cetak, hanya sebuah e-book dan berupa file pdf [adobe reader].

Saya sempat tercengang betapa mutiara-mutiara motivasional, panduan mengatasi rasa takut, kekhawatiran, dan kesedihan, benar-benar diulas begitu renyah dan enak dibaca,  plus sejumlah tips-tipsnya. Beragam tamsil dituangkan di dalamnya. Banyak cukilan kisah inspiratif dari subyek-subyek terkenal diulasnya; kisah-kisah sukses mereka  yang berhasil mendobrak pintu rumah ‘ketakutan dan kekhawatiran’ hingga kemudian bisa sukses dan bahagia.

Bagi saya sendiri, yang lebih menyadarkan, muatan maknanya sebetulnya sudah jauh-jauh hari “disinggung” Qur’an, sudah lama “disampaikan” hadits Nabi. Saya kian mafhum kenapa Al-Qarni bisa terinspirasi karenanya. Tak aneh, bila ada bagian-bagian tulisan Al-Qarni dalam buku La Tahzan yang senafas dengan Carnegie. Ada ruh dan spirit yang sama. Bedanya, Carnegie menukil rujukan dari khazanah Barat, lingkunganya, dan runut jali per bab.  Sedang Al-Qarni menyesuaikan dengan literatur Islam, wawasannya, dan pertopik seperti kolom-kolom yang bisa dibaca secara acak. Bagi pembaca muslim, tak bisa dipungkiri, buku Al-Qarni itu barangkali lebih “bergizi”, karena ia menawarkan asupan spiritual yang mencerahkan; ia menyuguhkan tema-tema keseharian dibalut penjelasan dari sisi agama yang begitu akrab dalam kehidupan.

Pembaca, tentu, saya tak ingin menulis ulasan buku dalam kolom ini. Saya ingin sharing satu watak manusia yang kerapkali menghambatnya untuk melangkah, yakni rasa takut. Sebuah sifat dasariah manusia yang tak bisa dipungkiri kerap menghambat seseorang untuk melangkah dan berubah. Ia tercipta antara bayangan masa lalu yang kelam dan traumatik dengan gambaran masa depan yang kelabu dan tak menentu.

Seorang lajang, misalnya, bisa saja tak berani memutuskan untuk menikah karena pernah memiliki masa lalu bersama mantan kekasih, atau pernah disakiti pasanganya, atau sebab lainnnya. Namun, di satu sisi, ia juga tak kuasa menatap masa depan dengan sikap yang optimis. Ada beban dalan irisan waktu yang dihadapinya; antara masa lalu dan masa depan selalu menghantui hidupnya.

Seorang pebisnis, misalnya, bisa jadi urung membuat inovasi karena takut rugi, berdasarkan pengalaman kegagalan yang pernah dilaluinya. Masa depan, sesuatu yang belum terjadi, seperti terbayang jelas buram di pelupuk matanya. Akhirnya, ia hanya menjadi pebisnis medioker  yang lama-lama digilas zaman dan kemudian collapse.

Sang lajang dan pebisnis hanyalah dua contoh kecil betapa rasa takut sudah melahap spirit hidup mereka. Di luar itu, apa pun profesi Anda, apa pun status sosial Anda, ketakutan dan kekhawatiran barangkali juga pernah membebat hidup Anda.  Entah apa masalahnya dan bentuk perkaranya. Bayang-bayang antara masa lalu dan masa depan yang kelabu menikam diam-diam ke dalam palung hati Anda. Inilah agaknya problem dasar yang menghambat seseorang bisa maju dan berubah lebih baik. Inilah agaknya masalah utama yang membuat seseorang tak mampu menemukan ‘lilin’ kehidupanya.  Lalu, bagaimana?

Hidup untuk Hari Ini

Pernahkah Anda membaca sabda Nabi berikut ini: “Ketika pagi hari tiba, janganlah kamu berharap untuk bertemu sore hari dan ketika kamu bertemu malam hari, janganlah kamu berharap bertemu pagi hari.” Dari hadits ini, Al-Qarni dalam bukunya itu menegaskan pesan dan bahasa yang indah: “Hiduplah dengan hati, tubuh, dan jiwa hanya untuk hari ini saja, tanpa menjelajahi masa lalu dan tanpa merasa khawatir dengan masa depan.”

Lalu ia menambahkan:  “Ketika Anda bangun tidur di pagi hari, jangan berharap untuk melihat sore hari. Hiduplah seolah-olah apa yang Anda miliki hanyalah hari ini. Kemarin telah berlalu dengan segala kebaikan dan keburukannya, sedangkan hari esok belum tentu tiba. Rentang kehidupan Anda hanyalah satu hari, seolah-olah Anda dilahirkan di awal hari itu dan akan mati di akhir hari itu pula. Dengan bersikap seperti itu, Anda tidak akan terperangkap di antara obsesi masa lalu dengan segala deritanya, serta harapan masa depan dengan segala ketidakpastiannya.” 

Sabda indah Nabi dan uraian ciamik Al-Qarni  di atas kian menegaskan kepada kita bahwa hidup itu seyogyanya menghayati masa sekarang, bukan masa lalu ataupun masa depan. Tanamkanlah di sanubari Anda bahwa “aku hidup untuk hari ini,dan  barangkali inilah  satu-satunya hari yang tersisa dari hidupku.”
Buang jauh-jauh dari benak Anda kilas-kilas menyedihkan masa lalu itu, toh itu sudah terjadi dan tak akan pernah terulang kembali. Buang juga jauh-jauh kekhawatiran masa depan yang mencekam Anda karena itu belum terjadi dan masih menimbulkan seribu kemungkinan yang tak pasti. Tak aneh, dalam beberapa firman-Nya, Allah berulang-ulang berpesan “la takhaf...” [jangan takut]. Agar lebih jelas, Anda bisa kulik sendiri dalam QS. Thaahaa: 68; QS. Al-Ankabuut: 33; QS. Huud: 70; QS. An-Naml: 10; QS. Al-Qashashas: 25, dan lain-lainnya.

Spirit “la takhaf” itulah yang memang selayaknya menghiasi hari-hari kita semua. Bila hari ini Anda masih sempat membaca kolom ini, bersyukurlah, sebab Dia yang Rahman telah memberkahi kehidupan untuk Anda menjalani hal-hal terbaik, hal-hal terindah, dan hal-hal yang belum tentu Anda bisa nikmati esok hari. Manfaatkanlah semaksimal mungkin hari ini dengan orang-orang terdekat Anda yang Anda cintai. Gunakanlah segenap energi positif yang Anda miliki untuk aksi hari ini. 

Terhadap masa lalu yang barangkali pahit dan traumatik, bersikaplah untuk menerimanya, ya menerimanya dengan bulat hati, sebagai satu poin plus dari Allah untuk meningkatkan derajat Anda. Sebab, bila mengacu matematika-Nya: yang terbaik menurut kita, bisa jadi yang terburuk di mata Allah. Sebaliknya, yang terburuk di mata kita, bisa jadi terbaik di mata Allah. Percayalah sikap tersebut, berdamai dengan masa lalu itu, akan lebih menentramkan jiwa ketimbang terus menyibukkan diri menganalisa dan memikirkannya. Prof. William James berkata: “Sikap menerima apa yang telah terjadi adalah langkah pertama dalam mengatasi akibat-akibat kemalangan”

Terkait dengan masa depan yang belum jelas alurnya, bersikaplah dengan cara melakukan hal terbaik di hari ini. Soal hasil itu tak penting. Yang terutama adalah Anda menjalani prosesnya dengan sikap dan cara terbaik di hari ini. Maksimalkan segenap energi, mental, kemampuan, otak, dan hati Anda di hari ini. “The best possible way to prepare for tomorrow is to concentrate with all  your intelligence, all your enthusiasm, on doing today’s work superbly today.”  Demikian jelas Dale Carnegie, seraya mengutip fisikawan Inggris, Sir William Osier.  Demi hari esok, kita memang sebaiknya konsentrasi penuh untuk melakukan pekerjaan hari ini dengan segenap inteligensi dan antusiasme. Ada kegairahan untuk mengerjakannya pada hari itu juga. Ya, begitulah kiranya cara terbaik menyiapakan hari esok yang lebih baik. Lebih dari itu, bukankah Allah pernah berpesan: “Telah pasti datangnya ketetapan Allah, maka janganlah kamu meminta disegerakan datangnya...” [QS. An-Nahl [16]: 1].